Kamis, 28 Oktober 2010

1 dan 8

Seperti mencecap manis madu, dunia kita begitu luar biasa.
Indah, teduh, ringan, dan mengalir.
Namun terasa keluarbiasaan itu menjadi semakin luar biasa.Kita lahir dari rahim yang berbeda. Kalau pun sama, pasti di waktu yang berbeda.
Adanya indah itu tak selamanya sama.
Bagimu, kau rasa indah sebagai sebuah pemahaman mata fisik yang menggerayangi dimensi. Indah itu saat tersentuh, terlihat, dan terasa.
Aku tak persalahkan indahmu, walau bagiku indah adalah dalah hati, dalam pikir, dalam angan, dalam asa.
Bagimu, teduh adalah juga makna inderawi. Kau rasa teduh saat tak menyengat kulitmu. Kau rasa teduk saat sejuk bayu menerpamu.
Sedang aku memandang teduh sebagai lontaran kagum tiap kalimat lugumu. Teduhku adalah pengakuanku atas kesederhanaanmu yang tanpa tabir.
Adapun ringan, kau rasa sebagai ketidakberatan, kemudahan, yang tidak membingungkan. Ringan saat tiada beban di pundakmu, tak juga di pundakku.
Dan ringanku, ringan bagiku adalah sebuah pencapaian. Keberhasilanku menggariskan senyum di bibirmu. Ringan bagiku bukanlah untuk ku menilaimu, tapi untuk ku mencapaimu.
Dan apa pula makna mengalir??
Begitu kau bertanya. Dan dengan polos kau samakan mengalirmu sebagai kemudahan, tak terbelit, tak sulit.
Ah... adakah aku yang terlampau membelit-belit saat kukatakan “mengalir” dalam makna kecocokan, kesepahaman, bahkan pengertian?
Tampak air mukamu bingung, ragu untuk mengangguk, tak berani pula menggeleng.
Begini, mungkin dapat kita analogikan “mengalir” itu seumpama kita, kita berdua. Atau mungkin dia dan dia, atau dia dan mereka, atau kita dan mereka, bisa jadi aku dan dia, kau dan dia, aku dan mereka, kau dan mereka. Kita yang tak pernah sama, tak juga serupa.
Namun tetap mengalir bukan??
Ada aliran rasa yang kita pandang sebagai sebuah pencapaian atas apa yang kita sebut sebagai “pengertian”.
Kau masih bingung kah?