Kamis, 28 Oktober 2010

1 dan 8

Seperti mencecap manis madu, dunia kita begitu luar biasa.
Indah, teduh, ringan, dan mengalir.
Namun terasa keluarbiasaan itu menjadi semakin luar biasa.Kita lahir dari rahim yang berbeda. Kalau pun sama, pasti di waktu yang berbeda.
Adanya indah itu tak selamanya sama.
Bagimu, kau rasa indah sebagai sebuah pemahaman mata fisik yang menggerayangi dimensi. Indah itu saat tersentuh, terlihat, dan terasa.
Aku tak persalahkan indahmu, walau bagiku indah adalah dalah hati, dalam pikir, dalam angan, dalam asa.
Bagimu, teduh adalah juga makna inderawi. Kau rasa teduh saat tak menyengat kulitmu. Kau rasa teduk saat sejuk bayu menerpamu.
Sedang aku memandang teduh sebagai lontaran kagum tiap kalimat lugumu. Teduhku adalah pengakuanku atas kesederhanaanmu yang tanpa tabir.
Adapun ringan, kau rasa sebagai ketidakberatan, kemudahan, yang tidak membingungkan. Ringan saat tiada beban di pundakmu, tak juga di pundakku.
Dan ringanku, ringan bagiku adalah sebuah pencapaian. Keberhasilanku menggariskan senyum di bibirmu. Ringan bagiku bukanlah untuk ku menilaimu, tapi untuk ku mencapaimu.
Dan apa pula makna mengalir??
Begitu kau bertanya. Dan dengan polos kau samakan mengalirmu sebagai kemudahan, tak terbelit, tak sulit.
Ah... adakah aku yang terlampau membelit-belit saat kukatakan “mengalir” dalam makna kecocokan, kesepahaman, bahkan pengertian?
Tampak air mukamu bingung, ragu untuk mengangguk, tak berani pula menggeleng.
Begini, mungkin dapat kita analogikan “mengalir” itu seumpama kita, kita berdua. Atau mungkin dia dan dia, atau dia dan mereka, atau kita dan mereka, bisa jadi aku dan dia, kau dan dia, aku dan mereka, kau dan mereka. Kita yang tak pernah sama, tak juga serupa.
Namun tetap mengalir bukan??
Ada aliran rasa yang kita pandang sebagai sebuah pencapaian atas apa yang kita sebut sebagai “pengertian”.
Kau masih bingung kah?

Kamis, 03 September 2009

Kumpulan Puisi yang Kuupload di Facebook

Teori yang Statis

Biarkan tetap
Padam
Terangkan kelam
Tetap padam
Lalu genta membelalak di kesunyian
Tetap saja padam
Tulisan yang kosong
Ucapan yang hampa
Aliran yang mengering

Sudah tak lagi kemarau

Biarkan tetap
Masih saja padam
Ada lolongan dalam bising
di telingamu.

Ayolah, runtuhkan ego


Mampang 33, 11 Juli 2009



Sajak Karang

Kita itu karang, makhluk yang membatu oleh zaman
Aku tegak diam di singgasanaku
Begitupun kau, menatap menantang segala di depan
Kenapa tak kau lempar sebotol anggur
biarkan menghempas pecah di tanah
Lalu kucium sebenar-benarnya candu
Mungkin aku kan mabuk, mungkin tidak
Tapi yakinlah kupuas menenggak aromanya
Ada kala aku juga ingin bertingkah
Kulempar sekeranjang gula-gula di depan pintumu
Cobalah!
Bagaimana, cukup maniskah?


Kudus, 4 Mei 2009



Menatapmu dan Badai

Menatapmu menatapku di balik kelambu berwarna biru
ada gurau bertaut caci menggulung benci
Badai terakhir telah usai
Mari berbenah, memusnah puing-puing fitnah!
Kau cerita masa lalu, masih di balik kelambu biru
tentang gadismu yang direbut angin
tentang calon istrimu yang dipaksa kawin
Entah kenapa kelambu biru tersingkap
Kutatap kau tak lagi berani menatap
walau badai terakhir telah lewat..
Aku ternyata telah melesat bersama angin


Kudus, 3 Mei 2009



Luka di Laut

:buat pejantan memabukkan

Proposal jinggaku tenggelam, menangis
Ingat aku ucapmu, boleh tawa boleh nangis
Aku ini wanita tak makan janji, manis
'Ayo ke pantai, bulan tertawa lebar' rayumu meringis
Jatuh ragaku, koyak teriris-iris
Bunda di daratan ikut teriris
Ah, kapalmu tlah merapat
Tapi mengapa jangkar tak kau angkat?
Taulah kau, aku wanita rela meratap
Sungguh andai di pantai kau lepas muka aku mungkin tetap percaya
Ataukah hanya tipu daya?
Dan kapalmu merapat singkat
Kau tahu, aku tersayat-sayat


Kudus, 26 April 2009



Wajah Kotaku


Datanglah seberangi Tanggulangin
Sehampar hijau sawah memanja mata
Ada kala semburat jingga menyapa, tertata di langit timur
Oh, ternyata bias pagi mulai menari
di ujung menara Kanjeng Sunan yang pandai mengaji
Ini kota belumlah mati..
Kau lihat becak, sepeda, dan kereta kuda turut bercerita
digurau lautan padi hijau, masih muda
Lalu langkah ke utara,
biarkan julang Muria yang bertahta
Santun yang kokoh di kejauhan,
namun tangganya angkuh menantang
Ada takjub yang enggan melenggang
Dan tiada alasan terdiam
saat kalimat tasbih mengalun, aku merata dalam doa
Dari seteguk air Muria,
entah kenapa anugrah itu begitu terasa
Lagi-lagi aroma yang berbeda, seolah merasuk, menjalar di paru-paruku
Ini asap rokok, asap pabrik gula, asap kendaraan, asap jerami yang dibakar pengusaha batu bata
Galau tiap kali kumelintas dalam benci yang meretas
tiap rongga hidungku menangkapnya
Ini polusi, polusi, aku benci polusi
Tapi kotaku hidup dari ini
Akupun pernah hidup dari ini
Menghirup dalam benci, namun tak kuasa kutumbuh murka
Ah, persetan itu polusi
kotaku tetap kota kretek
yang darinyalah wajah-wajah lugu menjual keringat demi sesuap nasi
Melesat ku ke selatan, yang hening tanpa sedu sedan kendaraan
Hanya sawah luas yang tak berbatas menguras kesima
Itu dulu
Dulu saat warga menyimpan harta di bumbung
dulu saat tak ada asap kendaraan membumbung
Kotaku sekarang tahu modernisasi
Pasar tradisional disanding mall bergedung tinggi
Aku tak ingin kotaku mati tanpa harga diri


Kudus, 26 April 2009

Selasa, 26 Mei 2009

PERANG BAYANGAN


Kemana kau lempar tangan
Biar mudah kucekal segera
Tapi tak tampak oleh senja
Di sana jingga masih ada
Mendung menyingkir, membaur dalam pekat
Kita semakin tak terlihat, atau tak melihat?
Hanya dengus ego membantah
Mentah dalam serapah
Saat malam mendenguskan bayang
Kita kian pekat
Tak tau mana tangan mana pedang
Jadi biarlah tersayat



(Ada sesal mengenal kecewa...karenanya sesal mengenalmu
Sekian lama detikku terpaku di medan peperangan penuh ranjau yang kau tanam
kecewa membiarkanmu datang
Jadi siapa salah sekarang?)

Senin, 25 Mei 2009

Memori Terakhir

Kosong itu apa yang kurasakan tentangmu
Nyaris tak ada sepercik tersisa

Lalu aku mati dalam karma, menebus sisa-sisa dosa
Kau tak pernah tahu

Aku dalam lamunan malam menerawang memorimu
Aku hantu kehausan
Aku arwah kelelahan

Kering aliran sungai yang kau tunjukkan, dulu
Dan banjir itu telah lewat, lenyap
Sama sepertimu, hanya tinggal puing-puing menari dalam bimbang
Ragaku entah sukmaku memelas bergelantungan
Dalam dosa

Nyaris kulupa air mukamu
Di depanku kau larut dalam duka

Senin, 06 April 2009

Setahun Kemarin

Setahun kemarin, di ujung jalan yang kau janjikan. Aku setia menunggu dalam temaram senja yang meradang. Seekor induk burung terbang rendah menyapa rona cerah di wajahku. Dia tahu aku sedang memendam rindu tak terkira sore itu. Dia juga sebahagia diriku. Dengan makanan secukupnya yang susah payah dia kumpulkan untuk anak-anaknya yang masih belia yang juga menahan rindu tak terkira.
Setahun itu aku meratap dalam kehampaan, dalam pendambaan yang sebelumnya kusangka tak lagi berujung. Asa tuk bersamamu, menggapai mimpi hidup bersamamu. Kutahu kau pun tahu aku mengharapmu, meski tak setitik pun kau tunjukkan perasaan yang serupa untukku. Setahun itu, aku hanya seorang yang bagimu hanyalah sosok yang tak berarti lebih dari sekedar sosok pelengkap keluh dan kesahmu, yang selalu ada untukmu, dan kau pun tahu aku tak akan mungkin menolak segala pintamu. Kau tahu itu dan aku juga tahu kalau kau telah mengetahui perasaanku yang sejatinya tak pernah berhenti mendambamu. Tapi setahun itu kau hanya tahu. Hanya sebatas tahu tanpa sedikitpun ingin memahami pengetahuanmu itu.
Kau bahkan tahu saat aku cemburu di sampingmu yang sedang meluapkan rindu pada seseorang yang aku tak mau tahu. Kau juga pastinya tahu, saat aku terkapar dalam sedih yang teramat mendalam saat kau mengungkapkan sayang pada seseorang yang sekali lagi aku tak ingin tahu. Tapi kau tetap melucu di hadapanku, menghilangkan semua raguku yang sempat menyeruak. Kau yakinkan aku kau pun merinduku, kau pun menyayangiku.
Setahun itu kau telah membuatku membatu. Membatu dalam penantian dan ketidakpastian. Tapi kau menikmati itu, sehingga aku pun mulai menikmati itu.
Setahun penantianku berakhir. Tepat setahun kemarin, di jalan itu kau janjikan hatimu untukku. Kau janjikan cintamu hanya untukku. Kau tahu, seandainya pun kau hanya melucu, aku pasti kan percaya leluconmu itu.
Sebuah senja, setahun kemarin, di ujung jalan yang kau janjikan. Aku menunggumu di sebuah bangku tak bertuan, meradang bersama senja yang sayup-sayup menghilang. Aku mulai percaya semua hanya gurauan. Gurauan yang sama seperti yang sering kau lontarkan.
Sayang, senja pun tak lagi kelihatan di hadapan. Dan mungkin senja itu tak akan datang lagi untukku. Seperti kau yang tak lagi datang untukku, aku tak tahu akankah hidup kembali menyapaku.

Kamis, 16 Oktober 2008

Untuk apa kita tahu?

Kadang kita berpikir, seandainya kita mampu memahami segala hal, mampu dalam segala hal....alangkah luar biasanya hidup ini. Namun tidakkah kita pernah berpikir, manusia itu diciptakan-Nya sebagai makhluk yang terbatas. Terbatas usianya, terbatas fisiknya, terbatas ruang geraknya, dan tentu terbatas pikirnya. Kalau tidak tentunya kita tak kan berucap Subhanallah tatkala terhampar samudra luas di hadapan kita. Atau mungkin saat sebuah gunung berapi meletus dengan dahsyatnya tanpa diperkirakan sebelumnya, termasuk saat sang janin terlahir jauh hari sebelum saat yang telah diperhitungkan.
Entah memang sudah kodrati manusia terlahir dengan sifat tamak, takabur. Dan hanya sedikit yang mampu benar-benar mengubur sifat itu sebagai sebuah titik hitam kecil yang tak lagi tampak. Manusia sering tergiur dan terlena oleh tawaran manis pujian-pujian setan yang menggelitiki kalbu. Mata manusia hampir selalu dibutakan oleh nafsu duniawi.
Tak pernahkah kita berpikir, keterbatasan itu anugrah. Keterbatasan yang dikaruniakan pada kita adalah anugrah yang tak terkira. Pernahkah kita bayangkan diri kita, atau mungkin orang lain yang hidup selama zaman, tak lagi mengenal mati. Pernahkah terbayang bilamana kita mampu dan tahu segala bidang, sehingga akhirnya semua orang akan membutuhkan bantuan kita, lalu banyak lagi orang yang meminta bantuan kita, begitu seterusnya. Bahkan Allah pun mewajibkan kita mengimani Qodlo dan Qodar, semata-mata agar kita memiliki keterbatasan pengetahuan pada masa depan.
Ketidaktahuan adalah sebuah anugrah, sama seperti keterbatasan yang kita miliki. Karena itulah, kejutan dalam hidup akan terasa seperti hadiah tak terkira yang pernah kita terima dari-Nya, entah sebagai hadiah yang indah maupun sebaliknya. Keterbatasan pulalah yang mengajari kita untuk terus belajar dan berusaha. Keterbatasan dan ketidaktahuan membuat kita berkembangan ke arah yang lebih baik sebagai manusia, sebagai Makhluk terbaik ciptaan-Nya.

Setidaknya itu menurut keterbatasan berpikir saya sebagai manusia.

Jatmiko

Jatmiko

Aku geram. Aku yakin semua orang akan merasa geram saat mereka merasakan seperti apa yang saat ini sedang melandaku. Tak hanya raga dan batinku saja yang tersiksa. Aku pun mulai merasa seluruh masa lalu terenggut dengan paksa. Pedihnya terasa menyayat seperti sebilah belati tajam yang mengiris ujung jari. Aku yakin..kau pun akan merasakan sakit itu seandainya kau adalah aku.
Pohon mangga gadung di depanku tak lagi kukenali sebagai sebuah pohon mangga. Pohon yang biasa kupanjat saat aku masih kanak-kanak yang hanya mengenal senang, lapar, dan lelah. Pohon itu sudah seperti saudara lelakiku, tempatku berlindung saat segerombolan anak-anak nakal mencoba menjahiliku. Di pohon itu juga kutumpahkan semua keluh kesahku setelah telinga dan pahaku membiru oleh jeweran dan cubitan ibu saat beliau tahu aku bolos sekolah. Bahkan sekarang aku masih bisa melihat bekas congkelan-congkelan kasar yang dulu kuanggap sebagai sebuah ukiran indah. Congkelan bergambar ibu memarahiku. Tapi sekarang yang kulihat hanya sebuah congkelan kayu yang menghitam dan lebih menyerupai arang.
Aku terpaku menatap bangkai pohon yang semakin legam terguyur hujan badai semalam. Tanah becek di sekitarnya semakin membuatku merasakan kepiluan yang luar biasa. Apa yang kudengar tentang kejadian semalam menjelma menjadi sebuah kiamat kecil dalam hidupku, yang hanya dalam semalam memporak-porandakan semua hal yang pernah kupercayai selama ini. Aku bahkan mulai meragukan kepercayaanku dan semua ajaran-ajaran agama yang pernah kudengar, termasuk yang telah kupelajari. Kalau saja Gusti Allah tidak membuka mata hatiku lebar-lebar, aku pasti sudah mengkafirkan diri saat ini juga.
Gemuruh amarah kembali melandaku. Sedihku tak lagi mampu dibendung saat mendengar kabar kematian Jatmiko semalam. Mendengarnya dipanggil Sang Pengadil saja sudah membuatku terkejut. Apalagi saat mendengar peristiwa memalukan yang merenggut nyawa Miko.
Tanpa pikir panjang sebuah teriakan keras meluncur keluar dari mulutku sambil kedua kepalan tanganku meninju bangkai pohon mangga gadung di hadapanku. Beberapa rantingnya yang telah menjadi arang berguguran jatuh menutup tanah basah di bawahnya. Saat itulah kurasakan tangan lembut Wahyuni, adik tiri Jatmiko mencengkeram kepalan tanganku yang mulai membabi buta.
“Sabar Ning. Sing Sabar. Semua sudah terlanjur terjadi. Aku tahu kamu sedih. Apalagi aku Ning. Bagaimanapun dia Masku, meskipun tiri.”
Aku terduduk mendengar ucapan Wahyuni. Wahyuni memelukku erat. Aku benar-benar salut padanya. Setelah semua yang terjadi pada kakak tirinya, dia masih bisa sabar, masih bisa begitu tenang. Berbeda denganku. Datang-datang langsung ngamuk, teriak-teriak menyumpahkan kata-kata kotor yang sempat memancing emosi beberapa warga. Untung ada Pak Satrio, ketua RT, datang meredam emosi warga. Aku berharap bisa seperti Wahyuni, menjadi wanita yang sebenarnya wanita. Tidak sepertiku yang sejak dulu selalu dijuluki cewek tomboy. Bahkan kalau mau jujur, hanya Miko satu-satunya anak laki-laki di kampungku yang masih menganggapku sebagai anak perempuan, tak beda dengan Wahyuni. Mungkin sikap itu yang membuat aku sangat dekat dengan Miko.
Aku ingat saat aku berusaha lari sekencang-kencangnya dari kejaran anak-anak kampung sebelah setelah aku memukul salah seorang teman mereka. Miko menyuruhku bersembunyi di balik sebuah pohon mangga yang sangat besar, yang dipenuhi ulat bulu yang membuatku sangat ketakutan. Tapi karena pohon mangga itulah aku berhasil lolos dari kejaran mereka, termasuk beberapa hari berikutnya, sampai akhirnya ayah dimutasikan ke luar jawa. Waktu itu aku mengamuk. Aku sempat minggat dari rumah karena tidak bersedia ikut ayah dan ibu pindah ke Maluku. Miko jugalah yang akhirnya membujukku untuk kembali ke rumah.
Angin musim hujan yang dingin kembali bergemuruh menyapu asap sisa kebakaran yang masih mengepul di beberapa titik. Bau daging bakar yang sebelumnya sempat tak tercium kembali menusuk hidungku, dan mulai menaikkan aliran darahku. Mata nanarku menatap batang pohon mangga yang telah menjadi arang itu. Terbayang di depanku bagaiman tubuh Jatmiko terikat di batang itu dengan kobaran api menyala-nyala di sekitarnya. Aku tak sanggup membayangkan di mana mereka mengikat tubuh Lestari dan Aini kecil. Emosiku seketika menyalak saat bayang-bayang itu semakin jelas di pelupuk mataku. Kaki kananku tanpa kendali menendang batang pohon mangga itu sampai menimbulkan retak di beberapa bagian. Beberapa warga kampung yang masih bertahan di tempat itu kembali menatapku sinis. Seorang di antaranya bahkan melontarkan kalimat yang semakin membuatku geram.
“Dasar orang tak tahu diuntung. Kau mau dibakar juga seperti si sesat Jatmiko, ha!”
Dengan darah mendidih kuhampiri orang itu dan kudaratkan sebuah tinju yang membuat pipinya merah, bahkan ujung bibirnya pecah. Warga yang lain hanya diam melihatku. Wahyuni kembali mengamit kedua tanganku, mencoba membawa kembali kesadaranku.
Aku kembali tersungkur, berlutut di tanah becek yang tertutup puing-puing reruntuhan rumah Miko yang telah luluh lantah oleh kobaran amuk masa semalam. Tak ada yang tersisa di tempat itu selain beberapa tumpukan batu-bata yang mampu bertahan dari tragedi semalam. Tak sadar air mataku mengalir deras.
Kenapa Miko. Apa yang salah dengannya. Apa yang salah dengan yang dia lakukan selama ini. Kenapa harus seorang Miko yang semua orang di kampung tahu, Miko adalah salah satu warga panutan.
Kuingat kembali surat terakhir darinya yang kuterima sebulan yang lalu. Surat yang menandai puncak kegelisahan dan penyesalan sahabatku Miko.

Untuk Widyaningtyas,
Sahabat terbaikku

Assalamualaikum.

Apa kabar Ning. Semoga rahmat Ilahi selalu menyertaimu. Sekali lagi kau harus menerima surat dariku, yang isinya semua tentang aku. Aku sudah tak tahu lagi bagaimana harus mengawali kalimat ini. Aku hanya berharap kau tidak bosan menjadi sahabatku, menjadi tempatku mencurahkan semua kesahku, paling tidak kau jangan pernah bosan membaca surat dariku. Karena aku tak tahu lagi ke siapa aku akan mengirimkan surat ini selain kamu.
Ning, aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Entah sampai kapan lagi aku mampu bertahan dalam dilemma ini. Hidupku serasa begitu percuma. Benar-benar percuma. Bagaimana tidak percuma. Aku benar-benar calon kuat penghuni neraka jahanam. Dan tidak ada yang akan menolongku.
Kau tahu, semua saran-saran yang pernah kau berikan telah kulakukan. Setiap hari aku selalu bermain petak umpet dengan istri dan mertuaku. Setiap hari, lima kali aku harus memutar otak mencari alasan untuk membohongi mereka hanya untuk menunaikan sholat. Berat Ning. Semua benar-benar berat.
Kau tahu Ning, aku juga hampir mengikuti saranmu untuk meninggalkan Lestari dan Aini. Tapi tiap kali aku mencoba, aku selalu gagal. Tiap kali menatap wajah anakku, Aini, perasaan tak kuasa mulai menderaku. Aku tak mungkin meninggalkannya. Dia anakku. Darah dagingku. Kau ingat, di suratku sebelumnya aku pernah bilang, mertuaku telah mengancamku. Aku sempat mengira itu hanya ancaman belaka. Tapi Astagfirullah, mereka benar-benar membuktikan ancaman itu Ning.
Hari itu aku berniat membawa Lestari dan Aini pergi. Sebenarnya Lestari istri yang baik di luar kenyataan orang tuanya adalah pemimpin aliran sesat itu. Lestari selalu menurutiku, mendengarkanku, bahkan dia sudah bersedia kembali ke Islam. Aku sungguh lega mendengar pengakuannya Ning. Tapi sayang, pas kami akan pergi dari rumah, ayah dan ibu mertuaku sudah menghadang kami. Mereka langsung menarik Lestari dan Aini. Seperti bagaimana mereka pernah mengancamku, kalau aku ingin pergi dari rumah itu, aku hanya bisa pergi sendiri. Dan kalau aku benar-benar pergi sendiri dari rumah itu, Aini yang akan menanggung akibatnya.
Ya Allah Ning, aku benar-benar menyesal dulu sempat mengatakan ajaran mereka benar. Aku menyesal pernah mengatakan agama mereka sama seperti agama Baginda Rosul. Aku telah murtad Ning. Aku ingin kembali ke jalan yang benar Ning. Tapi dimana jalan itu Ning? Tolong kau katakan padaku apa yang harus kulakukan Ning. Katakan padaku haruskah aku meninggalkan anak dan istriku demi kebebasanku sendiri Ning? Bukankah itu dosa Ning? Bukankah anak itu titipan Ilahi yang harus kita jaga? Kalau aku meninggalkan Aini sekarang, bukankah aku telah mengkhianati amanat Gusti Allah?
Lantas apa yang harus aku lakukan sekarang Ning? Ingin aku coba tetap bertahan di tempat ini dan tetap bertahan dalam Islam, tapi sungguh sangat sulit. Setiap hari sholatku tidak pernah genap lima waktu. Setiap hari aku dicekoki dengan petuah-petuah yang mereka sebut sebagai agama. Setiap hari aku makan dari uang rakyat miskin yang mereka sebut umat mereka. Apakah masih pantas aku disebut Muslim, Ning? Apakah dua kalimat syahadat yang tiap saat selalu kudengungkan mampu mengeluarkanku dari kemurtadan?
Sahabatku, Widyaningtyas. Aku tak tahu lagi bagaimana jalan yang terbaik untuk semua ini. Doakan aku tetap mampu berpikir jernih. Doakan aku dan anak istriku mampu melalui semua ujian ini. Aku juga tetap menunggu saran-saran darimu, dari siapapun yang mungkin bisa kau mintai tolong. Dan semoga Allah juga membaca surat ini, dan membukakan pintu maap bagiku dan keluargaku. Amin.
Cukup disini dulu Ning. Semoga aku masih sempat menerima balasan darimu. Semoga aku juga masih sempat menulis surat lagi padamu.
Titip salamku kepada Ayah dan Ibumu.

Wassalamualaikum.

Saat membaca surat itu aku juga menitikkan air mata seperti saat ini. Sungguh tak pernah kuduga, bahkan tidak ada seorang pun yang menduga seorang Jatmiko yang begitu alim, Jatmiko yang dulu sering dipanggil ustad muda terjebak dalam situasi seperti itu. Yang lebih menyedihkan lagi, orang-orang mulai menyebutnya sebagai Jatmiko si sesat. Kabar itu kudengar dari Wahyuni sekitar tiga minggu yang lalu.
Aku sempat kalap mendengarnya. Serta merta kuceritakan kenyataan yang sebenarnya kepada Wahyuni, persis seperti apa yang tertulis dalam surat-surat Miko. Aku bahkan mengirimkan fotokopi semua surat yang kuterima dari Miko setelah dia menikahi Lestari, anak seorang ulama dari Solo. Wahyuni dan keluarganya begitu terkejut mengetahui kenyataan itu. Sempat ayah Wahyuni datang ke rumah Jatmiko di desa sebelah, lalu mengajaknya kembali ke rumah. Jangankan mengajaknya kembali ke rumah. Untuk mengajak Jatmiko dan anak istrinya sekedar singgah saja sudah mendapat penolakan yang bahkan berkesan seperti sebuah larangan bagi mereka. Sejak itu tak ada lagi yang mendengar kabar tentang Jatmiko. Aku pun tak lagi menerima surat dari Miko setiap seperti sebelumnya. Lebih parah lagi, surat balasan yang kukirim ke Miko kembali lagi kepadaku. Pak pos bilang alamat Miko tak lagi ditemukan. Surat berikutnya pun mengalami nasib yang sama.
Sampai akhirnya tiga hari yang lalu kudengar berita tak mengenakkan di sebuah stasiun TV. Aliran kepercayaan yang dipimpin ayah mertua Miko oleh pemerintah secara resmi digolongkan sebagai aliran sesat. Seketika kekuatiran akan nasib Miko menghantuiku. Aku pun berencana kembali ke Demak minggu berikutnya.
Namun suratan nasib memang tak pernah dapat selalu berjalan seperti yang diharapkan manusia. Kalau Allah sudah berkehendak lain, maka kenyataan dari Ilahi yang harus diterima manusia. Kemarin siang Wahyuni meneleponku dari wartel. Suaranya terisak-isak membuatku diliputi pertanyaan dan kekhawatiran. Dari Wahyuni aku tahu kalau nasib Jatmiko dan orang-orang tidak beruntung yang terjebak dalam ajaran aliran yang katanya sesat itu sedang tidak jelas. Warga desa tempat mertua Miko tinggal tidak mau menerima keberadaan mereka. Kerusuhan terjadi di kampong tempat Miko dan anak istrinya tinggal. Apa yang sempat kusaksikan di tayangan langsung televisi membuatku sedih, khawatir, dan sangat menderita.
Segera kuputuskan untuk terbang ke Jawa. Malam itu aku akan berangkat dari Maluku ke Semarang. Namun sekali lagi nasib mungkin sedang tidak berpihak padaku. Pesawat yang kutumpangi delay karena langit Indonesia Timur sedang tidak mendukung pesawat untuk lepas landas. Aku nekad bermalam di bandara sambil terus mengikuti perkembangan kerusuhan melalui televisi. Namun tak ada yang kuketahui tentang Miko. Yang kulihat hanya rumah-rumah warga yang dirusak. Bahkan ada yang dibakar, termasuk beberapa tempat ibadah.
Aku tak pernah mau membayangkan salah satunya adalah Miko maupun anak istrinya. Aku tak mau itu terjadi sehingga aku berusaha meyakinkan diri itu tidak terjadi.
Tapi kau tahu sendiri semua tidak terjadi seperti yang kuinginkan. Kalau sekarang Miko masih hidup tak mungkin aku meratap menangis di depan pohon mangga gadung yang telah menjadi arang. Aku tak mungkin menghajar warga kampung yang berusaha menenangkanku. Tak mungkin sekarang aku bersimpuh meratapi kematian Miko, yang bahkan mayatnya pun tak lagi dapat kutemui.
Airmataku semakin deras mengucur menatap pohon mangga tempat tubuh Miko diikat dan dipanggang hidup-hidup bersama keluarga istrinya. Aku geram. Sangat geram. Amat sangat marah. Apa alasan warga kampung membantai mereka seperti membantai binatang. Apa pantas mereka menyebut diri mereka muslim. Apakah benar mereka Islam? Aku bahkan sempat bertanya dalam hatiku apakah Islam memang ajaran yang benar. Sungguh ya Allah…aku tak ingin menduakanmu. Tapi terlalu perih jiwaku menyaksikan bagaimana sahabatku yang sampai di ujung hayatnya masih berusaha memperjuangkan keyakinannya pada-Mu diperlakukan seperti itu. Inikah takdir-Mu Ya Rabb.
Berkali-kali kuteriakkan pertanyaan yang sama tentang keadilan takdir-Mu. Dan orang-orang kampung yang mengaku-aku mereka Islam, Muslim yang tega membakar makhluk-Mu, membakar hidup-hidup saudara mereka sendiri. Mereka hanya tersenyum puas menatap ratap dan tangisku.
Aku marah. Aku tak terima dengan perlakuan mereka. Bahkan kalaupun memang Jatmiko menjadi penganut aliran sesat pun bukan alasan bagi mereka untuk membunuhnya, terlebih membakarnya hidup-hidup. Dan aku kembali berteriak marah, tak lagi kuasa menahan emosi yang mulai menggetir di dadaku. Wahyuni yang sebelumnya cukup kuat menahan tekanan pedih di hatinya pun telah putus asa. Air mata perempuan itu mengalir deras. Sama derasnya dengan air mataku yang seolah tiada habis.
Dengan terhuyung-huyung aku kembali bangkit. Kuraih ranting pohon mangga di dekatku yang setengahnya sudah terbakar dan arangnya berjatuhan. Mataku yang telah memerah menatap tajam orang-orang kampung yang masih berkerumun di reruntuhan rumah Jatmiko. Kuhampiri salah seorang dari mereka. Aku ingat. Dia orang yang bibirnya telah kupecahkan dengan tinjuku beberapa saat lalu.
Orang itu hanya melempar tatapan sinis ke arahku. Bahkan dia seolah tak menggubris keberadaanku yang hanya tinggal beberapa jengkal dari tempatnya berdiri. Dengan cepat kuhantamkan ranting pohon mangga yang kupegang ke arah mukanya. Aku bisa melihat bagaimana tubuh itu terhuyung jatuh dan meronta kesakitan saat darah mulai mengucur dari kulit pipinya yang membuka. Aku juga bisa melihat bagaimana warga kampung yang lain yang tersentak kaget menyaksikan salah seorang teman mereka terkapar di hadapan mereka. Rasakan. Ya, rasakan sakitnya saat temanmu teraniaya. Rasakan.
Aku pun bisa melihat bagaimana Wahyuni mencoba meraihku menjauh dari kerumunan itu, saat dengan serta merta orang-orang kampung mulai mengeroyokku, memukuliku dengan benda seadanya yang dapat mereka raih. Detik-detik berlalu dan aku tak lagi bisa melihat Wahyuni yang masih berteriak-teriak memanggilku. Yang kurasakan hanya perih yang menyayat kulitku. Tapi perih itu tak mampu mengalahkan perih yang masih membakar hatiku. Sampai akhirnya aku telah mati rasa. Aku merasakan tubuhku lemah. Dan aku tak lagi melihat apa-apa


Pejompongan, 21 Juli 2008