Teori yang Statis
Biarkan tetap
Padam
Terangkan kelam
Tetap padam
Lalu genta membelalak di kesunyian
Tetap saja padam
Tulisan yang kosong
Ucapan yang hampa
Aliran yang mengering
Sudah tak lagi kemarau
Biarkan tetap
Masih saja padam
Ada lolongan dalam bising
di telingamu.
Ayolah, runtuhkan ego
Mampang 33, 11 Juli 2009
Sajak Karang
Kita itu karang, makhluk yang membatu oleh zaman
Aku tegak diam di singgasanaku
Begitupun kau, menatap menantang segala di depan
Kenapa tak kau lempar sebotol anggur
biarkan menghempas pecah di tanah
Lalu kucium sebenar-benarnya candu
Mungkin aku kan mabuk, mungkin tidak
Tapi yakinlah kupuas menenggak aromanya
Ada kala aku juga ingin bertingkah
Kulempar sekeranjang gula-gula di depan pintumu
Cobalah!
Bagaimana, cukup maniskah?
Kudus, 4 Mei 2009
Menatapmu dan Badai
Menatapmu menatapku di balik kelambu berwarna biru
ada gurau bertaut caci menggulung benci
Badai terakhir telah usai
Mari berbenah, memusnah puing-puing fitnah!
Kau cerita masa lalu, masih di balik kelambu biru
tentang gadismu yang direbut angin
tentang calon istrimu yang dipaksa kawin
Entah kenapa kelambu biru tersingkap
Kutatap kau tak lagi berani menatap
walau badai terakhir telah lewat..
Aku ternyata telah melesat bersama angin
Kudus, 3 Mei 2009
Luka di Laut
:buat pejantan memabukkan
Proposal jinggaku tenggelam, menangis
Ingat aku ucapmu, boleh tawa boleh nangis
Aku ini wanita tak makan janji, manis
'Ayo ke pantai, bulan tertawa lebar' rayumu meringis
Jatuh ragaku, koyak teriris-iris
Bunda di daratan ikut teriris
Ah, kapalmu tlah merapat
Tapi mengapa jangkar tak kau angkat?
Taulah kau, aku wanita rela meratap
Sungguh andai di pantai kau lepas muka aku mungkin tetap percaya
Ataukah hanya tipu daya?
Dan kapalmu merapat singkat
Kau tahu, aku tersayat-sayat
Kudus, 26 April 2009
Wajah Kotaku
Datanglah seberangi Tanggulangin
Sehampar hijau sawah memanja mata
Oh, ternyata bias pagi mulai menari
di ujung menara Kanjeng Sunan yang pandai mengaji
Ini
Kau lihat becak, sepeda, dan kereta kuda turut bercerita
digurau lautan padi hijau, masih muda
Lalu langkah ke utara,
biarkan julang Muria yang bertahta
Santun yang kokoh di kejauhan,
namun tangganya angkuh menantang
Ada takjub yang enggan melenggang
Dan tiada alasan terdiam
saat kalimat tasbih mengalun, aku merata dalam doa
Dari seteguk air Muria,
entah kenapa anugrah itu begitu terasa
Lagi-lagi aroma yang berbeda, seolah merasuk, menjalar di paru-paruku
Ini asap rokok, asap pabrik gula, asap kendaraan, asap jerami yang dibakar pengusaha batu bata
Galau tiap kali kumelintas dalam benci yang meretas
tiap rongga hidungku menangkapnya
Ini polusi, polusi, aku benci polusi
Tapi kotaku hidup dari ini
Akupun pernah hidup dari ini
Menghirup dalam benci, namun tak kuasa kutumbuh murka
Ah, persetan itu polusi
kotaku tetap kota kretek
yang darinyalah wajah-wajah lugu menjual keringat demi sesuap nasi
Melesat ku ke selatan, yang hening tanpa sedu sedan kendaraan
Hanya sawah luas yang tak berbatas menguras kesima
Itu dulu
Dulu saat warga menyimpan harta di bumbung
dulu saat tak ada asap kendaraan membumbung
Kotaku sekarang tahu modernisasi
Pasar tradisional disanding mall bergedung tinggi
Aku tak ingin kotaku mati tanpa harga diri
Kudus, 26 April 2009