Senin, 06 April 2009

Setahun Kemarin

Setahun kemarin, di ujung jalan yang kau janjikan. Aku setia menunggu dalam temaram senja yang meradang. Seekor induk burung terbang rendah menyapa rona cerah di wajahku. Dia tahu aku sedang memendam rindu tak terkira sore itu. Dia juga sebahagia diriku. Dengan makanan secukupnya yang susah payah dia kumpulkan untuk anak-anaknya yang masih belia yang juga menahan rindu tak terkira.
Setahun itu aku meratap dalam kehampaan, dalam pendambaan yang sebelumnya kusangka tak lagi berujung. Asa tuk bersamamu, menggapai mimpi hidup bersamamu. Kutahu kau pun tahu aku mengharapmu, meski tak setitik pun kau tunjukkan perasaan yang serupa untukku. Setahun itu, aku hanya seorang yang bagimu hanyalah sosok yang tak berarti lebih dari sekedar sosok pelengkap keluh dan kesahmu, yang selalu ada untukmu, dan kau pun tahu aku tak akan mungkin menolak segala pintamu. Kau tahu itu dan aku juga tahu kalau kau telah mengetahui perasaanku yang sejatinya tak pernah berhenti mendambamu. Tapi setahun itu kau hanya tahu. Hanya sebatas tahu tanpa sedikitpun ingin memahami pengetahuanmu itu.
Kau bahkan tahu saat aku cemburu di sampingmu yang sedang meluapkan rindu pada seseorang yang aku tak mau tahu. Kau juga pastinya tahu, saat aku terkapar dalam sedih yang teramat mendalam saat kau mengungkapkan sayang pada seseorang yang sekali lagi aku tak ingin tahu. Tapi kau tetap melucu di hadapanku, menghilangkan semua raguku yang sempat menyeruak. Kau yakinkan aku kau pun merinduku, kau pun menyayangiku.
Setahun itu kau telah membuatku membatu. Membatu dalam penantian dan ketidakpastian. Tapi kau menikmati itu, sehingga aku pun mulai menikmati itu.
Setahun penantianku berakhir. Tepat setahun kemarin, di jalan itu kau janjikan hatimu untukku. Kau janjikan cintamu hanya untukku. Kau tahu, seandainya pun kau hanya melucu, aku pasti kan percaya leluconmu itu.
Sebuah senja, setahun kemarin, di ujung jalan yang kau janjikan. Aku menunggumu di sebuah bangku tak bertuan, meradang bersama senja yang sayup-sayup menghilang. Aku mulai percaya semua hanya gurauan. Gurauan yang sama seperti yang sering kau lontarkan.
Sayang, senja pun tak lagi kelihatan di hadapan. Dan mungkin senja itu tak akan datang lagi untukku. Seperti kau yang tak lagi datang untukku, aku tak tahu akankah hidup kembali menyapaku.

Tidak ada komentar: