Kamis, 16 Oktober 2008

Jatmiko

Jatmiko

Aku geram. Aku yakin semua orang akan merasa geram saat mereka merasakan seperti apa yang saat ini sedang melandaku. Tak hanya raga dan batinku saja yang tersiksa. Aku pun mulai merasa seluruh masa lalu terenggut dengan paksa. Pedihnya terasa menyayat seperti sebilah belati tajam yang mengiris ujung jari. Aku yakin..kau pun akan merasakan sakit itu seandainya kau adalah aku.
Pohon mangga gadung di depanku tak lagi kukenali sebagai sebuah pohon mangga. Pohon yang biasa kupanjat saat aku masih kanak-kanak yang hanya mengenal senang, lapar, dan lelah. Pohon itu sudah seperti saudara lelakiku, tempatku berlindung saat segerombolan anak-anak nakal mencoba menjahiliku. Di pohon itu juga kutumpahkan semua keluh kesahku setelah telinga dan pahaku membiru oleh jeweran dan cubitan ibu saat beliau tahu aku bolos sekolah. Bahkan sekarang aku masih bisa melihat bekas congkelan-congkelan kasar yang dulu kuanggap sebagai sebuah ukiran indah. Congkelan bergambar ibu memarahiku. Tapi sekarang yang kulihat hanya sebuah congkelan kayu yang menghitam dan lebih menyerupai arang.
Aku terpaku menatap bangkai pohon yang semakin legam terguyur hujan badai semalam. Tanah becek di sekitarnya semakin membuatku merasakan kepiluan yang luar biasa. Apa yang kudengar tentang kejadian semalam menjelma menjadi sebuah kiamat kecil dalam hidupku, yang hanya dalam semalam memporak-porandakan semua hal yang pernah kupercayai selama ini. Aku bahkan mulai meragukan kepercayaanku dan semua ajaran-ajaran agama yang pernah kudengar, termasuk yang telah kupelajari. Kalau saja Gusti Allah tidak membuka mata hatiku lebar-lebar, aku pasti sudah mengkafirkan diri saat ini juga.
Gemuruh amarah kembali melandaku. Sedihku tak lagi mampu dibendung saat mendengar kabar kematian Jatmiko semalam. Mendengarnya dipanggil Sang Pengadil saja sudah membuatku terkejut. Apalagi saat mendengar peristiwa memalukan yang merenggut nyawa Miko.
Tanpa pikir panjang sebuah teriakan keras meluncur keluar dari mulutku sambil kedua kepalan tanganku meninju bangkai pohon mangga gadung di hadapanku. Beberapa rantingnya yang telah menjadi arang berguguran jatuh menutup tanah basah di bawahnya. Saat itulah kurasakan tangan lembut Wahyuni, adik tiri Jatmiko mencengkeram kepalan tanganku yang mulai membabi buta.
“Sabar Ning. Sing Sabar. Semua sudah terlanjur terjadi. Aku tahu kamu sedih. Apalagi aku Ning. Bagaimanapun dia Masku, meskipun tiri.”
Aku terduduk mendengar ucapan Wahyuni. Wahyuni memelukku erat. Aku benar-benar salut padanya. Setelah semua yang terjadi pada kakak tirinya, dia masih bisa sabar, masih bisa begitu tenang. Berbeda denganku. Datang-datang langsung ngamuk, teriak-teriak menyumpahkan kata-kata kotor yang sempat memancing emosi beberapa warga. Untung ada Pak Satrio, ketua RT, datang meredam emosi warga. Aku berharap bisa seperti Wahyuni, menjadi wanita yang sebenarnya wanita. Tidak sepertiku yang sejak dulu selalu dijuluki cewek tomboy. Bahkan kalau mau jujur, hanya Miko satu-satunya anak laki-laki di kampungku yang masih menganggapku sebagai anak perempuan, tak beda dengan Wahyuni. Mungkin sikap itu yang membuat aku sangat dekat dengan Miko.
Aku ingat saat aku berusaha lari sekencang-kencangnya dari kejaran anak-anak kampung sebelah setelah aku memukul salah seorang teman mereka. Miko menyuruhku bersembunyi di balik sebuah pohon mangga yang sangat besar, yang dipenuhi ulat bulu yang membuatku sangat ketakutan. Tapi karena pohon mangga itulah aku berhasil lolos dari kejaran mereka, termasuk beberapa hari berikutnya, sampai akhirnya ayah dimutasikan ke luar jawa. Waktu itu aku mengamuk. Aku sempat minggat dari rumah karena tidak bersedia ikut ayah dan ibu pindah ke Maluku. Miko jugalah yang akhirnya membujukku untuk kembali ke rumah.
Angin musim hujan yang dingin kembali bergemuruh menyapu asap sisa kebakaran yang masih mengepul di beberapa titik. Bau daging bakar yang sebelumnya sempat tak tercium kembali menusuk hidungku, dan mulai menaikkan aliran darahku. Mata nanarku menatap batang pohon mangga yang telah menjadi arang itu. Terbayang di depanku bagaiman tubuh Jatmiko terikat di batang itu dengan kobaran api menyala-nyala di sekitarnya. Aku tak sanggup membayangkan di mana mereka mengikat tubuh Lestari dan Aini kecil. Emosiku seketika menyalak saat bayang-bayang itu semakin jelas di pelupuk mataku. Kaki kananku tanpa kendali menendang batang pohon mangga itu sampai menimbulkan retak di beberapa bagian. Beberapa warga kampung yang masih bertahan di tempat itu kembali menatapku sinis. Seorang di antaranya bahkan melontarkan kalimat yang semakin membuatku geram.
“Dasar orang tak tahu diuntung. Kau mau dibakar juga seperti si sesat Jatmiko, ha!”
Dengan darah mendidih kuhampiri orang itu dan kudaratkan sebuah tinju yang membuat pipinya merah, bahkan ujung bibirnya pecah. Warga yang lain hanya diam melihatku. Wahyuni kembali mengamit kedua tanganku, mencoba membawa kembali kesadaranku.
Aku kembali tersungkur, berlutut di tanah becek yang tertutup puing-puing reruntuhan rumah Miko yang telah luluh lantah oleh kobaran amuk masa semalam. Tak ada yang tersisa di tempat itu selain beberapa tumpukan batu-bata yang mampu bertahan dari tragedi semalam. Tak sadar air mataku mengalir deras.
Kenapa Miko. Apa yang salah dengannya. Apa yang salah dengan yang dia lakukan selama ini. Kenapa harus seorang Miko yang semua orang di kampung tahu, Miko adalah salah satu warga panutan.
Kuingat kembali surat terakhir darinya yang kuterima sebulan yang lalu. Surat yang menandai puncak kegelisahan dan penyesalan sahabatku Miko.

Untuk Widyaningtyas,
Sahabat terbaikku

Assalamualaikum.

Apa kabar Ning. Semoga rahmat Ilahi selalu menyertaimu. Sekali lagi kau harus menerima surat dariku, yang isinya semua tentang aku. Aku sudah tak tahu lagi bagaimana harus mengawali kalimat ini. Aku hanya berharap kau tidak bosan menjadi sahabatku, menjadi tempatku mencurahkan semua kesahku, paling tidak kau jangan pernah bosan membaca surat dariku. Karena aku tak tahu lagi ke siapa aku akan mengirimkan surat ini selain kamu.
Ning, aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Entah sampai kapan lagi aku mampu bertahan dalam dilemma ini. Hidupku serasa begitu percuma. Benar-benar percuma. Bagaimana tidak percuma. Aku benar-benar calon kuat penghuni neraka jahanam. Dan tidak ada yang akan menolongku.
Kau tahu, semua saran-saran yang pernah kau berikan telah kulakukan. Setiap hari aku selalu bermain petak umpet dengan istri dan mertuaku. Setiap hari, lima kali aku harus memutar otak mencari alasan untuk membohongi mereka hanya untuk menunaikan sholat. Berat Ning. Semua benar-benar berat.
Kau tahu Ning, aku juga hampir mengikuti saranmu untuk meninggalkan Lestari dan Aini. Tapi tiap kali aku mencoba, aku selalu gagal. Tiap kali menatap wajah anakku, Aini, perasaan tak kuasa mulai menderaku. Aku tak mungkin meninggalkannya. Dia anakku. Darah dagingku. Kau ingat, di suratku sebelumnya aku pernah bilang, mertuaku telah mengancamku. Aku sempat mengira itu hanya ancaman belaka. Tapi Astagfirullah, mereka benar-benar membuktikan ancaman itu Ning.
Hari itu aku berniat membawa Lestari dan Aini pergi. Sebenarnya Lestari istri yang baik di luar kenyataan orang tuanya adalah pemimpin aliran sesat itu. Lestari selalu menurutiku, mendengarkanku, bahkan dia sudah bersedia kembali ke Islam. Aku sungguh lega mendengar pengakuannya Ning. Tapi sayang, pas kami akan pergi dari rumah, ayah dan ibu mertuaku sudah menghadang kami. Mereka langsung menarik Lestari dan Aini. Seperti bagaimana mereka pernah mengancamku, kalau aku ingin pergi dari rumah itu, aku hanya bisa pergi sendiri. Dan kalau aku benar-benar pergi sendiri dari rumah itu, Aini yang akan menanggung akibatnya.
Ya Allah Ning, aku benar-benar menyesal dulu sempat mengatakan ajaran mereka benar. Aku menyesal pernah mengatakan agama mereka sama seperti agama Baginda Rosul. Aku telah murtad Ning. Aku ingin kembali ke jalan yang benar Ning. Tapi dimana jalan itu Ning? Tolong kau katakan padaku apa yang harus kulakukan Ning. Katakan padaku haruskah aku meninggalkan anak dan istriku demi kebebasanku sendiri Ning? Bukankah itu dosa Ning? Bukankah anak itu titipan Ilahi yang harus kita jaga? Kalau aku meninggalkan Aini sekarang, bukankah aku telah mengkhianati amanat Gusti Allah?
Lantas apa yang harus aku lakukan sekarang Ning? Ingin aku coba tetap bertahan di tempat ini dan tetap bertahan dalam Islam, tapi sungguh sangat sulit. Setiap hari sholatku tidak pernah genap lima waktu. Setiap hari aku dicekoki dengan petuah-petuah yang mereka sebut sebagai agama. Setiap hari aku makan dari uang rakyat miskin yang mereka sebut umat mereka. Apakah masih pantas aku disebut Muslim, Ning? Apakah dua kalimat syahadat yang tiap saat selalu kudengungkan mampu mengeluarkanku dari kemurtadan?
Sahabatku, Widyaningtyas. Aku tak tahu lagi bagaimana jalan yang terbaik untuk semua ini. Doakan aku tetap mampu berpikir jernih. Doakan aku dan anak istriku mampu melalui semua ujian ini. Aku juga tetap menunggu saran-saran darimu, dari siapapun yang mungkin bisa kau mintai tolong. Dan semoga Allah juga membaca surat ini, dan membukakan pintu maap bagiku dan keluargaku. Amin.
Cukup disini dulu Ning. Semoga aku masih sempat menerima balasan darimu. Semoga aku juga masih sempat menulis surat lagi padamu.
Titip salamku kepada Ayah dan Ibumu.

Wassalamualaikum.

Saat membaca surat itu aku juga menitikkan air mata seperti saat ini. Sungguh tak pernah kuduga, bahkan tidak ada seorang pun yang menduga seorang Jatmiko yang begitu alim, Jatmiko yang dulu sering dipanggil ustad muda terjebak dalam situasi seperti itu. Yang lebih menyedihkan lagi, orang-orang mulai menyebutnya sebagai Jatmiko si sesat. Kabar itu kudengar dari Wahyuni sekitar tiga minggu yang lalu.
Aku sempat kalap mendengarnya. Serta merta kuceritakan kenyataan yang sebenarnya kepada Wahyuni, persis seperti apa yang tertulis dalam surat-surat Miko. Aku bahkan mengirimkan fotokopi semua surat yang kuterima dari Miko setelah dia menikahi Lestari, anak seorang ulama dari Solo. Wahyuni dan keluarganya begitu terkejut mengetahui kenyataan itu. Sempat ayah Wahyuni datang ke rumah Jatmiko di desa sebelah, lalu mengajaknya kembali ke rumah. Jangankan mengajaknya kembali ke rumah. Untuk mengajak Jatmiko dan anak istrinya sekedar singgah saja sudah mendapat penolakan yang bahkan berkesan seperti sebuah larangan bagi mereka. Sejak itu tak ada lagi yang mendengar kabar tentang Jatmiko. Aku pun tak lagi menerima surat dari Miko setiap seperti sebelumnya. Lebih parah lagi, surat balasan yang kukirim ke Miko kembali lagi kepadaku. Pak pos bilang alamat Miko tak lagi ditemukan. Surat berikutnya pun mengalami nasib yang sama.
Sampai akhirnya tiga hari yang lalu kudengar berita tak mengenakkan di sebuah stasiun TV. Aliran kepercayaan yang dipimpin ayah mertua Miko oleh pemerintah secara resmi digolongkan sebagai aliran sesat. Seketika kekuatiran akan nasib Miko menghantuiku. Aku pun berencana kembali ke Demak minggu berikutnya.
Namun suratan nasib memang tak pernah dapat selalu berjalan seperti yang diharapkan manusia. Kalau Allah sudah berkehendak lain, maka kenyataan dari Ilahi yang harus diterima manusia. Kemarin siang Wahyuni meneleponku dari wartel. Suaranya terisak-isak membuatku diliputi pertanyaan dan kekhawatiran. Dari Wahyuni aku tahu kalau nasib Jatmiko dan orang-orang tidak beruntung yang terjebak dalam ajaran aliran yang katanya sesat itu sedang tidak jelas. Warga desa tempat mertua Miko tinggal tidak mau menerima keberadaan mereka. Kerusuhan terjadi di kampong tempat Miko dan anak istrinya tinggal. Apa yang sempat kusaksikan di tayangan langsung televisi membuatku sedih, khawatir, dan sangat menderita.
Segera kuputuskan untuk terbang ke Jawa. Malam itu aku akan berangkat dari Maluku ke Semarang. Namun sekali lagi nasib mungkin sedang tidak berpihak padaku. Pesawat yang kutumpangi delay karena langit Indonesia Timur sedang tidak mendukung pesawat untuk lepas landas. Aku nekad bermalam di bandara sambil terus mengikuti perkembangan kerusuhan melalui televisi. Namun tak ada yang kuketahui tentang Miko. Yang kulihat hanya rumah-rumah warga yang dirusak. Bahkan ada yang dibakar, termasuk beberapa tempat ibadah.
Aku tak pernah mau membayangkan salah satunya adalah Miko maupun anak istrinya. Aku tak mau itu terjadi sehingga aku berusaha meyakinkan diri itu tidak terjadi.
Tapi kau tahu sendiri semua tidak terjadi seperti yang kuinginkan. Kalau sekarang Miko masih hidup tak mungkin aku meratap menangis di depan pohon mangga gadung yang telah menjadi arang. Aku tak mungkin menghajar warga kampung yang berusaha menenangkanku. Tak mungkin sekarang aku bersimpuh meratapi kematian Miko, yang bahkan mayatnya pun tak lagi dapat kutemui.
Airmataku semakin deras mengucur menatap pohon mangga tempat tubuh Miko diikat dan dipanggang hidup-hidup bersama keluarga istrinya. Aku geram. Sangat geram. Amat sangat marah. Apa alasan warga kampung membantai mereka seperti membantai binatang. Apa pantas mereka menyebut diri mereka muslim. Apakah benar mereka Islam? Aku bahkan sempat bertanya dalam hatiku apakah Islam memang ajaran yang benar. Sungguh ya Allah…aku tak ingin menduakanmu. Tapi terlalu perih jiwaku menyaksikan bagaimana sahabatku yang sampai di ujung hayatnya masih berusaha memperjuangkan keyakinannya pada-Mu diperlakukan seperti itu. Inikah takdir-Mu Ya Rabb.
Berkali-kali kuteriakkan pertanyaan yang sama tentang keadilan takdir-Mu. Dan orang-orang kampung yang mengaku-aku mereka Islam, Muslim yang tega membakar makhluk-Mu, membakar hidup-hidup saudara mereka sendiri. Mereka hanya tersenyum puas menatap ratap dan tangisku.
Aku marah. Aku tak terima dengan perlakuan mereka. Bahkan kalaupun memang Jatmiko menjadi penganut aliran sesat pun bukan alasan bagi mereka untuk membunuhnya, terlebih membakarnya hidup-hidup. Dan aku kembali berteriak marah, tak lagi kuasa menahan emosi yang mulai menggetir di dadaku. Wahyuni yang sebelumnya cukup kuat menahan tekanan pedih di hatinya pun telah putus asa. Air mata perempuan itu mengalir deras. Sama derasnya dengan air mataku yang seolah tiada habis.
Dengan terhuyung-huyung aku kembali bangkit. Kuraih ranting pohon mangga di dekatku yang setengahnya sudah terbakar dan arangnya berjatuhan. Mataku yang telah memerah menatap tajam orang-orang kampung yang masih berkerumun di reruntuhan rumah Jatmiko. Kuhampiri salah seorang dari mereka. Aku ingat. Dia orang yang bibirnya telah kupecahkan dengan tinjuku beberapa saat lalu.
Orang itu hanya melempar tatapan sinis ke arahku. Bahkan dia seolah tak menggubris keberadaanku yang hanya tinggal beberapa jengkal dari tempatnya berdiri. Dengan cepat kuhantamkan ranting pohon mangga yang kupegang ke arah mukanya. Aku bisa melihat bagaimana tubuh itu terhuyung jatuh dan meronta kesakitan saat darah mulai mengucur dari kulit pipinya yang membuka. Aku juga bisa melihat bagaimana warga kampung yang lain yang tersentak kaget menyaksikan salah seorang teman mereka terkapar di hadapan mereka. Rasakan. Ya, rasakan sakitnya saat temanmu teraniaya. Rasakan.
Aku pun bisa melihat bagaimana Wahyuni mencoba meraihku menjauh dari kerumunan itu, saat dengan serta merta orang-orang kampung mulai mengeroyokku, memukuliku dengan benda seadanya yang dapat mereka raih. Detik-detik berlalu dan aku tak lagi bisa melihat Wahyuni yang masih berteriak-teriak memanggilku. Yang kurasakan hanya perih yang menyayat kulitku. Tapi perih itu tak mampu mengalahkan perih yang masih membakar hatiku. Sampai akhirnya aku telah mati rasa. Aku merasakan tubuhku lemah. Dan aku tak lagi melihat apa-apa


Pejompongan, 21 Juli 2008

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Ah, mosok ending e mati Yol.. gak seru ah..